Penurunan dan Kenaikan Muka Tanah CAT Jakarta

     Sebagian besar wilayah utara cekungan air tanah (CAT) Jakarta terus mengalami penurunan hingga saat ini. Angka paling tinggi berkisar 12 sentimeter per tahun. Meski demikian, ada beberapa lokasi yang juga mengalami kenaikan walau membutuhkan penelitian lebih lanjut. Hasil pemantauan dari Badan Konservasi Air Tanah (BKAT) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2016 dibandingkan data 2015 menunjukkan, dari 26 titik pemantauan, 22 titik atau 85 persen yang mengalami penurunan muka tanah hingga 12 cm. Hanya ada empat titik atau 15 persen yang mengalami kenaikan dengan angka hingga 5 cm.

    Peneliti di BKAT, Firman maliki Abdullah, mengatakan, sebagian besar titik pantau yang menunjukkan penurunan muka tanah mengalami penurunan tinggi. Titik wilayah lokasi yang cukup tinggi di Muara Angke, Penjaringan, dan Cilincing. ”Sementara ada empat lokasi mengalami kenaikan muka tanah meski tak signifikan, yaitu di Cakung, Pegangsaan Dua, Batu Ceper (Tangerang), dan di Latumenten. Untuk di Cakung agak aneh. Sebab, daerah ini termasuk yang mengalami pengambilan air tanah besar selama dua dekade terakhir. Kami mengukur dua kali, tetapi hasilnya tetap naik,” katanya. Firman menduga ini anomali. ”Perlu penelitian lebih lanjut terkait hal ini,” katanya. Kepala BKAT Kementerian ESDM Wachyudi Memed me- ngatakan, terjadinya kenaikan muka tanah di beberapa titik mungkin terjadi meski air tanahnya tetap diambil. Secara litologi, jika ada daerah yang turun, kemungkinan beberapa titik di sekitarnya akan naik. 

       Hasil pemantauan BKAT ini baru meliputi bagian utara CAT Jakarta. Wilayah selatan, meliputi sebagian Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, dan Bogor, belum dipantau pada 2016. Di tengah penurunan muka tanah yang terus terjadi, ekstraksi air tanah dalam tetap terjadi meski pemerintah berusaha membatasi. Di lapangan, ekstraksi air tanah berlebihan masih berlangsung, baik di sumur resmi maupun yang tidak terdaftar. Ekstraksi air tanah merupakan salah satu penyebab utama terjadinya penurunan muka tanah di Jakarta. Faktor lain, kondisi alamiah tanah Jakarta yang terus bergerak dan pembebanan.

      Dalam penelusuran Kompas menjelang akhir tahun lalu, dari 4.000-an sumur yang terdaftar, sekitar 40 persen tidak tercatat mengambil air. Hal itu karena berbagai hal, baik dari kerusakan meteran, tidak didatangi petugas, ataupun karena ”kenakalan” pemilik sumur. Nila Ardhianie dari Amrta Institute mengungkapkan, dari penelitian beberapa tahun lalu, penurunan muka tanah terjadi di seluruh Jakarta. Amblesan paling tinggi terjadi di wilayah Jakarta Barat, wilayah selatan bagian barat, juga utara dan timur. ”Di wilayah utara dan barat, pembebanan menjadi penyebab. Sementara selatan dan timur, penyebabnya ekstraksi air tanah berlebihan. Hal ini karena di wilayah selatan air tanahnya masih baik dibandingkan bagian utara sehingga orang cenderung mengambil air tanah,” kata Nila. Berdasarkan data Dinas Tata Air Juli 2016, pelanggan air tanah dalam terbanyak berada di wilayah selatan sebesar 42,5 persen. Lalu wilayah timur 20 persen, pusat 17,7 persen, serta selebihnya di utara dan barat.

Sumber: 
https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170201/282149291039720